sejarah sending gereja toraja



SEJARAH SENDING GEREJA TORAJA
Kekristenan di Toraja mulai diperkenalkan tidak lama setelah pemerintah kolonial menumpas perlawanan di Toraja yang dipimpin Pong Tiku (1905). GPI diminta pemerintah mengelola sekolah landschap (pendidikan dasar 5 tahun), masing-masing di Makale dan Rantepao. Pada tahun 1908 sampai 1915 pemerintah membuka sembilan sekolah di daerah Makale, yang dikelolah Indische Kerk, sambil menunggu masuknya badan pekabar Injil untuk bekerja di daerah Toraja. Pemerintah kolonial membuka sekolah di Toraja, sebagai bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk mengkristenkan penduduk di daerah-daerah pegunungan Sulawesi. Seorang tokoh Bala Keselamatan mengunjungi Toraja pada tahun 1912 namun badan zendingnya tidak bersedia bekerja di Toraja. Setelah melakukan pembaptisan, Pihak GPI melihat kemungkinan pekerjaan penginjilan di Toraja, walaupun izinnya hanya untuk pemeliharaan jemaat, bukan untuk pekabaran Injil. Mula-mula Van de Loosdrecht menyetujui menyerahkan Makale kepada Indische Kerk, namun setelah berkunjung dia melihat kesatuan bahasa dan budaya dengan wilayahnya, sehingga tetap menginkan Makale bagi GZB. Lagi pula baptisan yang dilakukan GPI di Makale menyalahi aturan yang baku menurut standar GZB, yaitu tanpa katekisasi yang memadai. Dalam hal ini perbedaannya adalah GZB ingin memenangkan jiwa orang ke dalam Kekristenan, sementara GPI ingin menduduki wilayahnya dengan mengkristenkan secara dangkal saja, baru kemudian pembinaan secara mendalam. Persaingan di Makale dimenangkan GZB, yang juga mengambil alih pelayanan kepada warga Kristen pendatang sebagai jemaat berbahasa Melayu (misalnya di Palopo). Van de Loosdrecht malahan meminta kepada pemerintah untuk memperluas daerah penginjilan GZB meliputi afdeling Mandar, khususnya onderafdeling Majene, Binuang (wilayah Mamasa termasuk di dalamnya) dan Balangnipa (di teluk Mandar, daerah Polewali). Kemudian menjadi jelas bahwa GZB tidak mampu melayani daerah seluas itu. Daerah Mandar (Mamasa dan Mamuju) kemudian dikerjakan oleh badan zending ZCGK dari Belanda. Demikianlah GZB hanya berkonsentrasi pada tiga onderafdeling dalam afdeling Luwu: Rantepao-Makale (Tana Toraja), Masamba (Rongkong Seko), dan Palopo.
A.    Sekolah Landschap
Penyebaran agama Kristen di Toraja dimulai dengan mendirikan sekolah dasar oleh pemerintah kolonial, yang diserahkan pengelolaannya kepada Indische Kerk, sebelum GZB datang sebagi badan pekabar Injil yang memperoleh izin untuk daearah Toraja dan sekitarnya.
Setelah pemerintah Belanda berhasil mengamankan wilayah yang baru dimasukinya sejak tahun 1905, yaitu Luwu’ dan Tana Toraja, pemerintah mendirikan sekolah yang akan menghasilkan calon pegawai pemerintah yang dinamakan sekolah Landschap (Landschapschool) atau sekolah swapraja. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1908 di Makale, Rantepao, dan Palopo. Di sekolah Landschap Makale bekerja seorang guru asal Ambon, S. Sipasulta. Ia terpanggil mengajarkan agama Kristen kepada murid-muridnya. Sebanyak 23 orang muridnya kemudian menyatakan diri mau menerima agama Kristen, dan pada tanggal 16 Maret 1913 mereka dibaptis oleh F. Kelling, pendeta dari Indische Kerk. Peristiwa penting tersebut oleh Gereja Toraja diperingati sebagai saat masuknya Injil di Toraja (Injil Masuk Toraja).
Setelah daerah Luwu dan Toraja ditaklukkan melalui operasi militer kolonial, pemerintah kolonial mendorong badan zending untuk bekerja di kalangan penduduk asli yang masih menganut agama sukunya. Ds. R.W.F. Kijftenbelt dari GPI di Makassar berinisiatif untuk bekerja di Toraja. Pada tahun 1912 GPI mulai pekerjaan penginjilan di wilayah Makale. Segera juga didirikannya sekolah –sekolah. Sampai tahun 1915 ada 9 sekolah didirikan, masing-maing di Rembon, Batualu, Buakayu, Simbuang, Leatung, Randanan, Mebali, Gandangbatu, dan Rano. Penginjilan itu berhasil mebaptiskan dua orang bangsawan, yakni Puang Ranteallo di Makale dan Yohanes Lambe dari Awa’. GPI juga yang membaptis 20 murid sekolah Landschap Makale pada tanggal 16 Maret 1913 oleh J. Kelling.
Tetapi pada tahun 1915 GPI terpaksa keluar dari wilayah Makale karena pemerintah mulai mengetatkan kembali prinsip kenetralan pemerintah terhadap agama. GPI sebagai “gereja pemerintah” tidak diperbolehkan melakukan kegiatan penyebaran agama, dalam hal ini agama Kristen. Pelayanannya diserahkan kepada GZB. GZB mendatangkan D.C. Prins dari Halmahera pada tahun 1915 untuk melayani daerah Makale dan sekitarnya.
Gereformeerde Zendingsbond adalah lembaga zending Belanda. Lembaga ini didirikan pada tahun 1901 di Utrecht oleh penganut aliran Gereformeerd yang masih tetap tinggal di dalam Hervormde Kerk, yang pada waktu itu merupakan gereja negara. Mereka tidak ikut keluar mengikuti gerakan yang dinamakan Doleansi di bawah pimpinan Abraham Kuyper. Mereka mendirikan lembaga zending sendiri karena tidak cukup mempercayai lembaga-lembaga pekabaran Injil yang terdapat dalam lingkungan Hervormde Kerk, seperti UZV, NZV dan lain-lain.
Kurang lebih 13 tahun lamanya GZB mempersiapkan diri untuk dapat mengutus pekabar Injilnya yang pertama. Pada akhir tahun 1913 persiapan dianggap sudah rampung dan utusan pertamanya diberangkatkan, Ds. A.A. van de Loosdrecht.
Pada tanggal 5 September 1913 GZB mengutus A.A. van de Loosdrecht sebagai utusannya yang pertama. Ia menyelesaikan pendidikannya di sekolah zending, dan bersama Alida, gadis yang baru saja ia nikahi, berlayar ke Indonesia. Mereka tiba di Rantepao pada tanggal 7 atau tanggal 10  November 1913. GZB mendapat izin untuk bekerja di daerah ini atas persetujuan pemerintah dengan para tokoh zending Belanda, seperti Dr. J.W. Gunning dan Dr. N. Adriani. Mereka ingin menempati daerah-daerah yang berbatasan dengan lapangan pekabaran Injil Poso dengan maksud hendak menciptakan suatu wilayah Kristen di Sulawesi bagian Tengah (Centraal Celebes).
Di Rantepao van de Loosdreht memulai pekerjaan penginjilan. Dia sadar bahwa untuk memperkenalkan Injil kepada orang Toraja haruslah diutamakan memberikan pendidikan. Ia menghubungi para penguasa masyarakat, yakni para Kepala Distrik. Mereka diajak oleh van de Loosdrecht untuk mau menerima sekolah yang akan didirikan di wilayah kekuasaan mereka. Beberapa Kepala Distrik ingin supaya di daerahnya segera didirikan suatu sekolah. Maka di Tonga, distrik Kesu’, wilayah kekuasaan Pong Maramba, dibukalah sekolah zending yang pertama.
Karena dia sendiri belum mengetahui bahasa daerah, maka ia memutuskan akan berangkat ke Poso, belajar pada Dr. N. Adriani, utusan Lembaga Alkitab Belanda yang telah menyelidiki bahasa dan kebudayaan suku bangsa yang dinamakan suku Toraja. Kurang lebih setengah tahun ia tinggal di Poso bersama tiga orang anak Toraja yang menjadi murid-murid pembantunya dalam mempelajari bahasa Toraja, yakni K. Kadang, Welem Bokko’, dan Taroe’. Setelah cukup persiapan, pulanglah mereka dan tiba di Rantepao kembali pada tanggal 9 Mei 1914. Turut pula dibawanya 2 orang guru yaitu Runtuwene dan Abraham, serta dua orang murid, yaitu Konda dan Barina. Dengan persiapan yang sudah mencukupi dibukanya lagi sebuah sekolah pada tanggal 15 Juli 1914 di Balusu, daerah Sa’dan. Guru Manembu ditempatkan jadi guru di sana. Pembukaan sekolah-sekolah di banyak tempat berlangsung dengan cepat, antara lain di Nanggala, Sa’dan, Tondok Litak, Pangala’ Kalambe’, Baruppu’, Pali-Bittuang, Buntao’, Bori’, dan Tondon. Pada tahun 1914 sudah 11 buah sekolah dibuka dengan jumlah murid mencapai 927 orang. Untuk wilayah Rantepao itu diusulkannya kepada GZB supaya membuka sekurang-kurangnya 20 buah sekolah, sedang untuk wilayah Makale yang akan ditinggalkan oleh GPI dan sudah memiliki sejumlah sekolah diusulkan untuk tambahan seorang tenaga tambahan kepada GZB. H.C. Prins didatangkan dari Halmahera pada tahun 1915. Guru-guru yang akan mengajar di semua sekolah yang dibuka itu didatangkan dari Ambon, Minahasa dan Sangir.
Walaupun ia mencurahkan begitu banyak perhatian terhadap pendidikan dengan membuka sekolah-sekolah, sekaligus menjadi schoolbeherder (pengawas sekolah), van de Loosdrecht tetap menjalankan tugas utamanya yaitu mengabarkan Injil secara langsung, sebagai zendeling leraar (utusan pekabar Injil). Ia mengadakan perjalanan keliling, antara lain ke Rongkong, Pantilang dan Ranteballa di daerah Luwu’. Karena ia berkedudukan di Rantepao maka perjalanan-perjalanannya terutama dilakukan di daerah itu juga. Ia dikenal sebagai seorang yang peramah dan baik hati sehingga digelari “Tuang Masokan”, tuan yang baik hati dan peramah. Diusahakannya agar kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi dalam masyarakat, seperti judi, sabung ayam, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan adat pemakaman orang mati yang dianggap bertentangan Injil dihapuskan. Untuk itu ia tidak segan-segan meminta bantuan pemerintah. Para Kepala Distrik yang tetap melakukannya dilaporkan sehingga beberapa di antaranya mengalami pembuangan, jauh ke luar Sulawesi. Sayang, bahwa semangatnya yang luar biasa untuk membawa orang Toraja kepada Kristus berhenti tiba-tiba, karena dia dibunuh pada malam tanggal 26 Juli 1917 di Bori’, di tempat kediaman seorang guru. Berbagai pendapat dikemukakan, baik dari pihak pejabat pemerintah maupun dari pihak kawan-kawan sesama zendeling, mengenai sebab-sebab dia dibunuh. Apakah karena penolakan kepada pekerjaan zending, atau terhadap pemerintah kolonial, ataukah gabungan kedua alasan itu? Mungkin juga dia menjadi korban karena dia orang Belanda yang berada di tengah situasi di mana ada sekelompok orang yang sedang marah menghadapi perubahan-perubahan yang dibawa orang Belanda ke tengah masyarakat Toraja. Pandangan dan aktivitas van de Loosdrecht mungkin memang mengganggu para bangsawan Toraja masa itu. Dia sangat mengharapkan agar pemerintah membasmi faktor‑faktor sosial, yang menurut padangannya, menghalangi penerimaan iman Kristen, seperti penindasan, judi, sabung ayam dan terutama ritual‑ritual kematian. Menurut dia semua garis ketidakadilan dan kekafiran bertemu dalam ritual‑ritual kematian. Bagaimanapun juga, kalangan GZB dan Gereja Toraja memandang kematian zendeling A.A. van de Loosdrecht sebagai martir, gugur karena kesaksian Injil, pertama di Tana Toraja di tengah-tengah masyarakat yang dia kasihi. Kuburannya yang ada di tengah masyarakat Toraja menjadi saksi bisu akan pengabdiannya kepada Tuhan Yesus, Juruselamat dunia.
Terbunuhnya van de Loosdrecht tidak menghentikan pemberitaan Injil, walaupun dukungan pemerintah tidak lagi secara langsung dan terbuka seperti sebelumnya. Pengurus GZB tetap mendatangkan tenaga-tenaga baru, baik sebagai tenaga utusan-pekabar Injil (zendeling-leeraar), maupun sebagai utusan-guru (zendeling-onderwijzer), utusan-dokter (zendeling-arts), dan utusan-mantri perawat (zendeling-diacoon).
Di antara tahun 1916-1930 berturut-turut GZB mengutus tenaga-tenaga barunya, seperti J. Belksma (tiba Mei 1916), P. Zijlstra (tiba 1920), H. Pol (tiba Januari 1926), J. Tanis (tiba Juni 1925), Dr. Thilo C.H. Simon (tiba Desember 1926), D.J. van Dijk (tiba November 1927), H.J. van Weerden (tiba November 1927), A.Belksma (sekitar Februari 1928), dan H.C. Heusdens (tiba tiba Februari 1930). Untuk mendukung pekerjaan mereka, sebelumnya van de Loosdrecht sudah meminta adanya ahli bahasa, sebagaimana Dr. Adriani mendampingi Kruyt di Poso. Pada tahun 1916 H. Van der Veen tiba di Toraja, diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda (Nederlandse Bijbel Genootschap, NBG).  Para utusan pekabar Injil ditempatkan melalui keputusan Conferentie Zendeling di resort-resort yang ditetapkan: Rantepao, Makale/ Rembon/ Sangalla’, Rongkong-Seko, dan Palopo, yaitu tempat-tempat yang dianggap strategis untuk mencapai penduduk.
1)       Kegiatan pekabaran Injil langsung
Seperti dijelaskan di atas daerah pekabaran Injil dibagi ke dalam resort-resor. Di setiap resort itu ditempatkan seorang zendeling. Umpamanya, di Rantepao mula-mula van de Loosdrecht yang bertugas di situ. Resort Makale oleh D.C. Prins, kemudian oleh P. Zijlstra yang karen ia berkedudukan di Sangalla’ maka nama resortnya menjadi resot Makale-Sangalla’. H. Pol juga, setelah dilarang menjadi mantri perawat oleh pemerintah, diciptakanlah satu resort baru yaitu resort Rembon. Ketika H.J.van Weerden tiba pada tahun 1927 maka Konferensi Zendeling membuka Rongkong-Seko sebagai resort baru lalu menempatkan van Weerden di situ.. Rantepao dan Makale dengan tantangan dari penguasa-penguasa adat (para bangsawan), Palopo dengan tantangannya dari pihak Islam, dan tantangan adat di daerah Pantilang, Rongkong dan Seko juga dengan tantangan adat dan Islam. Khusus untuk resort Rongkong-Seko, van Weerden, sebagai mantan pasukan kavaleri kolonial menjalankan strategi dan disiplin militer menghadapi keadaan resortnya sehingga dengan cepat juga tercipta jemaat-jemaat yang dewasa. Resort Palopo dihadapi oleh kuatnya tantangan dari pihak Islam. Menyadari kuatnya tantangan itu Heusdens berpikir untuk berlomba dengan pihak Islam dalam memperebutkan mereka yang masih beragama suku (agama asli), tetapi H. Pol menganggap penganut agama Islam juga merupakan sasaran penginjilan.  Jemaat sudah terbentuk dengan telah dibaptiskannya sejumlah 38 orang pada tahun 1918. Di situ juga bekerja seorang guru asal Minahasa Eli Kasenda, yang akhirnya menikahi seorang gadis bangsawan keluarga Pasande’. Pantilang juga menyusul dengan masuknya sejumlah warga memeluk agama Kristen pada sepanjang tahun 1920-an.
Penginjilan langsung dilakukan dengan megumpulkan sejumlah orang untuk menjelaskan isi Alkitab atau ajaran Kristen dengan cara diskusi. Kebaktian-kebaktian diselenggarakan, juga latihan menyanyi. Guru-guru juga berperan ganda mengajar di sekolah dan menginjil di luar sekolah. Van Weerden memperlihatkan filem bisu hitam-putih ceritera-ceritera Alkitab; dan ketika jemaat sudah terbentuk, para penatua ditigaskan mengunjungi warga sekampung untuk menyampaikan Injil kepada mereka.
2)       Kegiatan Pendidikan guru-guru Sekolah, dan Guru Injil
Selain penginjilan langsung di setiap resort, ada juga bidang-bidang pelayanan, seperti bidang pendidikan. Sudah sejak tahun 1915 van de Loosdrecht, bersama dengan seorang guru dari Minahasa mendidik empat anak, di antaranya dua orang anak Toraja, menjadi guru. Pada bulan Januari 1917 dibukalah Sekolah Pendidikan Guru di Barana’ di bawah pimpinan J. Belksma. Pada tahun 1918 sekolah tersebut sudah menghasilkan angkatan guru yang pertama lalu ditutup. Pada tahun 1920 sekolah itu dibuka kembali tetapi dengan status Normaalschool (Sekolah Guru) dua tahun dan berlangsung sampai awal tahun 1942. Kegiatannya diteruskan juga pada masa pendudukan Jepang oleh guru-guru yang telah bekerja dengan J.Belksma sebelumnya. Pada tahun 1930 Normaalschool mempersiapkan juga tenaga guru untuk karya PI di Mamasa dan pulau Salayar. Normaalschool itu kemudian dipindahkan ke Makale dan sesudah perang masuk “pool” sekolah-sekolah pemerintah dengan nama Opleiding voor Onderwijzers (OVO, Pendidikan untuk Guru). Pada tahun 1949 Zending membuka kembali Normaalschool dan beberapa tahun juga diadakan kursus yang memberi kesempatan kepada guru-guru tamatan normaalcursus di Barana’ untuk memperoleh ijazah Normaalschool.
3)      Pendidikan Dasar dan Pendidikan Kejuruan
Pendidikan dasar sudah dimulai sejak kedatangan van de Loosdrecht yang langsung membuka 4 sekolah rakyat di wilayah Rantepao. Sekolah-sekolah tersebut mula-mula diasuh oleh guru-guru dari luar, yakni dari Ambon, Minahasa, dan Sangir. Mulai tahun 1920 setelah ada tamatan Normaalschool di Barana’ maka guru-guru asal Toraja sudah mulai juga diterjunkan. Zendeling resort mengemban tugas pengawasan terhadap sekolah-sekolah di resortnya. Disebutkan bahwa tugas ini menyita sebagian besar waktunya, tetapi menciptakan pula kesempatan-kesempatan untuk usaha pekabaran Injil. Zending juga menyelenggarakan satu Vervolgschool (Sekolah Sambungan, pendidikan dua tahun sebagai kelanjutan sekolah rakyat dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar) di Makale. Selain itu sebuah Schakelschool dibuka, yaitu pendidikan lima tahun yang merupakan lanjutan sekolah desa, yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Sekolah ini merupakan pengganti HIS yang tidak jadi dibuka di Makale.
4)       Pelayanan di bidang Kesehatan
Pelayanan di bidang kesehatan juga menjadi perhatian utama GZB. Untuk itu para zendeling, khususnya calon zendeling leraar, ketika mengikuti pendidikan di sekolah zending di Oegstgeest, Negeri Belanda, sudah dibekali juga pengetahuan dasar di bidang medis. Ketika mereka sudah berada di lapangan pekabaran Injil sebagian waktu mereka digunakan untuk pelayanan kesehatan. Mereka membangun semacam puskesmas kecil di pekarangan rumah mereka.
Baru pada tahun 1925 GZB mengutus seorang mantri perawat, yang tiba pada bulan Januari 1926, yakni H. Pol. Pada waktu yang bersamaan seorang dokter zending tiba, yaitu Thilo C. H. Simon. Tetapi Simon tidak tinggal lama karena ia kemudian menjadi pegawai negeri dan kembali ke Jerman. H. Pol juga kemudian tidak diizinkan menjalankan tugasnya sehingga ia kemudian dijadikan tenaga pekabaran Injil dan ditempatkan di Rembon sebagai kepala resort Rembon, dan sesudah itu ke Palopo menggantikan Heusdens. Pada tahun 1929 pemerintah membangun sebuah rumah sakit di Rantepao. Sementara itu kegiatan pelayanan kesehatan kembali dipercayakan kepada zending pada tahun 1930 setelah sebelumnya diambilalih oleh pemerintah sejak tahun 1927 . Pada tahun 1935 rumah sakit pemerintah di Rantepao itu dibeli oleh zending dan jadilah rumah sakit itu menjadi pusat pelayanan kesehatan oleh zending. Rumah sakit tersebut dinamai Rumah Sakit Elim.
5)       Pelayanan di bidang Kemasyarakatan
Tidak dapat disangkal bahwa pelayanan para pekabar Injil berpengaruh juga kebidang kehidupan sosial masyarakat Toraja. Bekerjasama dengan pemerintah mereka memperkokoh perkawinan dan menciptakan aturan perkawinan yang lebih baik, khususnya di dalam lingkungan orang Kristen. Dengan menampung di rumah-rumah mereka anak-anak Toraja, khususnya perempuan sebagai murid (ma’muri’), mereka telah berikhtiar meningkatkan cara hidup dalam lingkungan keluarga. Para pekabar Injil itu juga berikhtiar memberantas kebiasaan menyabung ayam dan perjudian.




DAFTAR PUSTAKA
            Plaiser, Bas. 2016. Menjembatani Jurang Menembus Batas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Komentar

Postingan Populer